Bersinergi dalam Penanggulangan Bencana

Mendengar istilah “bencana”, sepertinya sudah bukan istilah asing bagi kita di Indonesia. Definisi bencana salah satunya adalah “Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis” (UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana). Bencana sendiri dikelompokkan menjadi 3 yaitu bencana alam (akibat peristiwa alam), bencana non-alam (akibat peristiwa non-alam seperti kegagalan teknologi, epidemi, penyakit dll) dan bencana sosial (peristiwa yang diakibatkan oleh aktifitas manusia seperti konflik social antar kelompok/komunitas).
Mari kita lihat saja tentang bencana alam. Sejak jaman dahulu kejadian-kejadian bencana alam selalu datang silih berganti tanpa henti. Simak saja tahun 2010, setidaknya ada 4 kejadian bencana alam yang membawa korban besar. 23 Februari, bencana tanah longsor di Ciwedey Bandung yang mengakibatkan sedikitnya 85 orang meninggal atau hilang. 4 Oktober, bencana banjir bandang yang melanda Wasior Papua Barat yang mengakibatkan tidak kurang dari 148 orang meninggal dunia. 25 Oktober, Gempa 7,7 SR di sebelah barat provinsi Sumatera Barat. Peralatan canggih deteksi tsunami yang dipasang gagal mengirimkan peringatan dini akibat alat tidak berfungsi bahkan beberapa dinyatakan hilang dicuri. Gempa tersebut menyebabkan tsunami melanda wilayah kepulauan Mentawai dan 400 orang lebih meninggal, 15.000 orang kehilangan tempat tinggal. 26 Oktober, Gunung Merapi di perbatasan DIY dan Jawa Tengah meletus yang menyebabkan lebih dari 100 orang meninggal dan memaksa 100.000 orang lebih untuk di evakuasi, bahkan sampai saat ini, ancaman bahaya lahar dingin masih terjadi dan diperkirakan hingga 3 tahun kedepan ancaman ini masih berlangsung. Total kerugian berdasarkan hasil perhitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Bappenas atas 644 kejadian bencana alam di tahun 2010 mencapai Rp 15 trilliun, dengan 81,5% atau 517 kejadian bencana akibat bencana hidrometeorologi (bencana yang terkait dengan iklim dan cuaca).
Bencana di Indonesia memang tak pernah habis dan berakhir, bahkan seperti “arisan” yang selalu bergantian dalam waktu dan tempat tetapi dengan hasil berupa kerugian baik material maupun non material yaitu hilangnya nyawa manusia. Dan hal ini masih terus akan dan sedang terjadi. “Kekayaan” alam yang diberikan kepada bangsa Indonesia berupa untaian gunung berapi, curah hujan melimpah dengan rerata lebih dari 2.500 mm per-tahun, hutan hujan tropis dengan luas mencapai 60% dari daratan Indonesia atau 10% dari luas hutan tropis dunia, belum bisa kita pelajari dan kelola dengan baik, sehingga justru dampak negatif yang kita peroleh, bukan manfaat positifnya.
Kita semua memahami bahwa Indonesia termasuk Negara dengan multi bencana, hampir semua jenis bencana yang ada pasti pernah bahkan sering terjadi di Indonesia. Apa yang bisa kita pelajari dan ambil hikmah dari bencana-bencana itu? Siapa saja yang berperan dalam upaya-upaya penanggulangan bencana (disaster management) yang meliputi pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation), kesiapan (preparedness), peringatan dini (early warning), tanggap darurat (response), bantuan darurat (relief), pemulihan (recovery), rehabilitasi (rehabilitation) hingga rekonstruksi (reconstruction)?
Ada 3 pemangku kepentingan (stakeholder) utama dalam penanggulangan bencana yaitu masyarakat, pemerintah dan ilmuan atau akademisi. Masyarakat selama ini lebih banyak diposisikan sebagai obyek untuk berbagai kegiatan penanggulangan bencana seperti penyuluhan, sosialisasi, hingga melakukan simulasi di lapangan. Masyarakat seolah-olah dianggap tidak memiliki pengetahuan tentang ancaman terhadap bencana melalui tanda-tanda alam disekitarnya. Padahal, mereka memiliki catatan (dalam bentuk ingatan dan cerita) historik dari orang tua atau leluhur tentang berbagai peristiwa alam yang berkaitan dengan kejadian bencana di daerah mereka. Bahkan mereka memiliki pengetahuan lokal (local knowledge) yang lebih dari cukup untuk bisa memrediksi dan mengkalkulasi potensi bahaya dan bencana yang akan terjadi di wilayah masing-masing. Mereka juga bisa melakukan tindakan-tindakan sederhana untuk mencegah munculnya bahaya. Sebagai contoh pada daerah yang rawan terhadap longsor, secara sederhana masyarakat sudah bisa mengetahui dari kemunculan-kemunculan retakan tanah di lereng bukit sebagai tanda bahwa tanah mulai bergerak dan potensi longsor muncul. Namun pengetahuan lokal dan kemampuan untuk bertindak tersebut rupanya tidak diiringi dengan tindakan nyata untuk kesiap-siagaan, sehingga seringkali bencana yang terjadi membawa korban cukup banyak.
Pemerintah adalah stakeholder yang memikul tanggung jawab utama dalam melindungi rakyat dari ancaman bencana. Pemerintah-lah yang memiliki kekuasaan (anggaran) dan legalitas untuk melakukan tindakan dan upaya penanggulangan bencana. Munculnya UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan salah satu produk pemerintah dalam upaya melindungi rakyatnya. Terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tingkat pusat yang diikuti dengan terbentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada tingkat kabupaten/kota merupakan bentuk implementasi UU 24/2007 untuk menjadi salah satu tumpuan dalam upaya nyata penanggulangan bencana. Dana APBN untuk penanggulangan bencana dikuasakan kepada BNPB dalam alokasinya melalui skema Dana Dekonsentrasi dan dana on call. Pada implementasinya, kabupaten/kota yang wilayahnya memiliki potensi tinggi terhadap bahaya bencana justru mengalami kesulitan dalam mengakses dana tersebut karena untuk mengkases dana penganggulangan bencana, kabupaten/kota harus memiliki instansi BPBD. Padahal untuk membentuk instansi baru BPBD tidaklah mudah, kabupaten/kota harus memiliki APBD yang cukup untuk membiayai belanja rutin (gaji dll) dan menyediakan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Tidak semua kabupaten/kota mempunyai kemampuan anggaran yang cukup kuat untuk “menggemukkan” organisasi pemerintah daerahnya. Akibatnya, banyak kabupaten/kota yang wilayahnya justru potensi bahaya bencana-nya tinggi tapi tidak bisa mengakses dana APBN untuk penanggulangan bencana, “hanya” gara-gara tidak mampu membentuk atau tidak memiliki BPBD, ironis…
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi saat ini sangatlah pesat dan mutakhir. Simak saja teknologi peringatan dini (early warning system/EWS) tsunami yang bisa menginformasi potensi tsunami dalam kisaran kurang dari 10 detik setelah gempa terjadi di laut lepas. Belum lagi teknologi menggunakan satelit dan radar yang saat ini jauh melebihi kemampuan ”mata elang” dalam melihat secara detail dan jelas seluruh lekuk dan pelosok permukaan bumi bahkan hingga jauh kedalam perut bumi. Melalui teknologi yang dikembangkan oleh para ilmuan, sudah banyak muncul berbagai produk-produk informatif seperti peta daerah rawan bencana tanah longsor, banjir dan juga rawan potensi tsunami. Belum lagi ditambah hasil penelitian-penelitian spesifik yang dilakukan oleh para akademisi bersama mahasiswanya di berbagai daerah sebenarnya sudah memberikan informasi yang lebih dari cukup untuk kita bisa waspada terhadap potensi ancaman disekitar kita. Sayangnya, semua hasil penelitian tersebut hanya bisa menjadi dokumen atau paper yang kemudian di publikasikan dalam bentuk buku ataupun di seminarkan di berbagai forum dan negara. Di Indonesia, hasil-hasil penelitian tentang kebencanaan masih belum dianggap cukup untuk menjadi sebuah rekomendasi atau kebijakan pemerintah. Sangatlah berbeda dengan negara-negara maju seperti Jepang contohnya, yang pemerintahnya sangat mengandalkan dan mempercayai hasil-hasil penelitian dan rekomendasi dari ilmuan dan akademisi sebagai panduan utama dalam penyelesaian berbagai masalah yang berkaitan dengan kebencanaan.
Melihat fenomena diatas, rasanya masih “jauh panggang dari api” untuk 3 stakeholder utama diatas bisa bersinergi dalam penanggulangan bencana. Perlu sebuah usaha yang keras dan “keajaiban” agar “three musketeer” penanggulangan bencana ini bisa bersatu, bersinergi dan saling percaya. Masyarakat-lah yang “bisa” bertindak paling cepat, pemerintah-lah yang ber-”kuasa” mengatur rakyatnya, ilmuan dan akademisi-lah yang “mengerti” apa dan bagaimana seharusnya. Jangan sampai yang terjadi “Sing kuoso ora biso, sing biso ora ngerti, sing ngerti ora kuoso” (yang berkuasa tidak bisa bertindak, yang bisa bertindak tidak mengerti yang harus dilakukan, yang mengerti harus bagaimana tidak berkuasa untuk memerintahkan).

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *